GAMBARAN HEMATOLOGI MENCIT (Mus musculus) MODEL TOKSISITAS SUBKRONIS

GAMBARAN HEMATOLOGI MENCIT (Mus musculus) MODEL TOKSISITAS SUBKRONIS

Ita Nur Eka Pujiastuti1, Sri Rahayu Lestari2, Abdul Gofur2

  1. Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang

  2. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang Jalan Semarang No. 5 Malang

Abstract

Garlic is a plant often consumed as a drug to treat and prevent disease or to maintain health. Many communities prefer garlic (Allium sativum) among other herbal medicine for cholesterol treatment. Garlic has many types, and one of them is single bulb garlic which is used to treat hypertension. However, there has been no research that shows the toxicological properties of single bulb garlic. The purpose of this study was to determine subchronic toxic effects of single bulb garlic in mice using hematological parameters. This study used four parameters, i.e. hemoglobin level, hematocrit level, erythrocyte number, and leukocyte number. Male mice (Mus musculus) strain Balb-C were treated with single bulb garlic extract for 28 days with several doses as follows, N 0%, P1 0.25%, P2 0.5%, P3 1%, and P4 2%. Single bulb garlic showed no effect on hemoglobin and hematocrit levels but increased numbers of erythrocyte and leucocyte. Therefore, this paper concludes that single bulb garlic does not cause subchronic toxic effects.
Key Words: Garlic, single bulb garlic, sub-chronic toxicity, hematology
Penulis korespondensi: Sri Rahayu Lestari | email: srirahayulestari@um.ac.id
Dikirim: 11-03-2017 | Diterima: 31-03-2017

PENDAHULUAN

Bawang putih (Allium sativum) merupakan salah satu tanaman yang banyak digunakan masyarakat untuk pengobatan dan menajaga kesehatan. Bawang putih biasanya dapat digunakan untuk pengobatan hiperkolesterolemia. Hiperkolesterolemiaadalah peningkatan kadar kolesterol atau dapat disertai dengan peningkatan kadar low density lipoprotein. Keadaan ini dapat meningkatkan resiko penyakit atherosklerosis, serta menstimulasi berbagai penyakit lain, seperti hipertensi; diabetes; dan timbulnya penyakit kardiovaskuler (Kopin, 2010).

Bawang putih (Allium sativum) adalah kelompok family Liliaceae (Kemper, 2000), yang memiliki senyawa sulfur, meliputi diallyl disulfide; diallyl trisulfide (Neeraj, et al., 2014); allyl cysteine; allyl disulfide (Chung, 2006); aliin (Chung, 2006; Tesfaye & Mangesha, 2015); allicin (Chung, 2006; Borlinghaus, et al., 2014; Tesfaye & Mangesha, 2015;); dan ajoene (Tesfaye & Mangesha, 2015). Bawang putih juga memiliki beberapa enzim, yaitu allinase; peroxidase; dan myosinase (Block, 1992). Berbagai penelitian menunjukkan efektivitas bawang putih dalam mengatasi hiperkolesterolemia (Stevinson, et al., 2000; Yeh, et al., 2001; Iweala, et al., 2005; Gebreyohannes and Gebreyohannes, 2013), hipertensi (Reinhart, et al., 2008; Gebreyohannes and Gebreyohannes, 2013; Nugroho & Ponco, 2015). Bawang putih juga dapat digunakan sebagai antioksidan (Metwally, 2009; Gebreyohannes and Gebreyohannes, 2013), antimikroba (Benkeblia, 2004; Gebreyohannes and Gebreyohannes, 2013), antivirus, antibakteri, antiparasit (Gebreyohannes and Gebreyohannes, 2013), antidiabetes (Eidi, et al., 2006; Thomson, et al., 2007; Gebreyohannes and Gebreyohannes, 2013), dan memberikan efek perlindungan terhadap potensi Cyclosporin A nefrotoksistas (Marsoul, et al. 2016). Bawang putih terdiri dari berbagai jenis, contohnya black garlic (Choi, et al., 2014) dan Chelenko P (Bezu, et al., 2014). Terdapat bawang putih jenis lain berupa single bulb garlic (bawang putih tunggal). Bawang putih tunggal merupakan jenis bawang putih yang memiliki jumlah umbi tunggal yang dapat digunakan untuk menurunkan hipertensi (Nugroho, 2015). Berdasarkan hal tersebut, bawang putih memiliki beberapa keunggulan. Namun belum terdapat penelitian yang menunjukkan efek toksik dari bawang putih terutama bawang putih tunggal jika digunakan dalam jangka panjang.

Jika seseorang dengan hiperkolesterolemiamengkonsumsi obat kimia secara berkala, biasnya menimbulkan efek samping. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan bawang putih tunggal secara terus menerus apakah dapat menimbulkan efek toksik subkronis ditinjau dari gambaran hematologi.

METODE

Pembuatan ekstrak bawang putih tunggal menggunakan metode soxhlet extraction yang, merupakan proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut. Pelarut yang digunakan adalah n-hexane dengan titik didih 40–60°C. Bawang putih sebanyak 200 g ditambah dengan pelarut n-hexane 2,4 L. Proses ekstraksi dilakukan selama 6 jam. Hasil ekstraksi diuapkan menggunakan rotary evaporator. Proses dilakukan untuk menguapkan pelarut dan menghasilkan minyak murni.

Hewan yang digunakan adalah mencit galur Balb-C umur 12 minggu dengan berat badan ± 20 g sebanyak 25 ekor. Hewan percobaan diaklimatisasi selama 7 hari dan diberi pakan Hi-Gro (10 g/ekor) serta diberi minum secara ad libitum. Selama aklimatisasi dievaluasi berat badan dan tingkah laku mencit. Dua puluh lima ekor mencit dibagi dalam 5 kelompok dengan diberi pakan yang sama dan ekstrak bawang putih tunggal, yaitu N (Hi-Gro + 0% ekstrak); P1 (Hi-Gro + 0,25% ekstrak); P2 (Hi-Gro + 0,5% ekstrak); P3 (Hi-Gro + 1% ekstrak); dan p4 (Hi-Gro + 2% ekstrak). Pemberian ekstrak dilakukan secara oral (gavage) sebanyak 0,3 ml/ekor/hari selama 28 hari untuk meneliti toksisitas subkronis ekstrak bawang putih tunggal (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2014).

Analisis hematologi menggunakan empat parameter, yaitu kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah eritrosit, dan jumlah leukosit. Penghitungan kadar hemoglobin menggunakan Hb meter scale Tallquist. Darah ditempelkan pada kertas filter, kemudian bandingkan warna darah dengan Hb scale Tallquist setelah warna mengkilat darah hilang. Penghitungan kadar hematokrit yaitu dengan memasukan darah dalam kapiler hematokrit hingga ¾ dari kapiler. Bagian bawah kapiler ditutup dengan paraffin, sebelum dimasukan dalam alat sentrifuse. Proses sentrifugasi dilakukan dengan posisi kapiler tertutup paraffin menghadap keatas. dan dilakukan selama 30 menit dengan kecepatan 4.000 rpm. Pembacaan kadar hematokrit dengan memperhatikan tinggi kolom eritrosit, tebal lapisan putih diatas eritrosit, dan warna kuning dari lapisan plasma. Kadar hematokrit dinyatakan dalam persentase. Jumlah eritrosit dihitung menggunakan hemositometer (bilik hitung Improved Double Neubauer). Langkah pertama darah EDTA dihisap dengan pipet eritrosit sampai angka 0,5. Langkah kedua pipet eritrosit dicampur dengan larutan Hayem dengan cara dihisap sampai batas angka 101. Darah dan larutan hayem dikocok supaya homogen. Larutan pada pipet diteteskan ke dalam hemositometer. dan dibaca pada mikroskop dengan perbesaran 10x Jumlah leukosit dilakukan dengan cara memipet darah EDTA hingga batas 0,5 ml. Langkah kedua, menghisap larutan asam asetat 1% hingga batas 11.0. Darah dan larutan asam asetat 1% dikocok supaya homogen. Larutan pada pipet digunakan untuk menghitung leukosit menggunakan hemositometer. Cara penghitungan jumlah eritrosit yaitu pada lima bidang di tengah dengan luas masing-masing bidang 0,2 x 0,2 mm2, sedangkan jumlah leukosit dihitung pada empat bidang disamping bidang penghitungan jumlah eritrosit. Bidang penghitungan jumlah leukosit dengan luas masing-masing bidang 1 x 1 mm2.

Data kadar hemoglobin, jumlah eritrosit, dan jumlah leukosit dianalisis menggunakan one way anova (anava satu jalur). Apabila nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel pada taraf kepercayaan 95%, maka analisis dilanjutkan menggunakan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) untuk melihat letak perbedaan masing-masing perlakuan, sedangkan data kadar hematokrit dianalisis secara deskriptif.

HASIL dan PEMBAHASAN

Pengukuran darah mencit (Mus musculus) yang diberi ekstrak bawang putih tunggal (Allium sativum) meliputi empat parameter, yaitu kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah eritrosit, dan jumlah leukosit. Hasil ini memperlihatkan gambaran hematologi mencit setelah pemberian ekstrak bawang putih tunggal selama 28 hari.

Berdasarkan hasil penelitian, kadar hemoglobin tidak berbeda nyata antara kelompok yang tidak diberi ekstrak dengan yang diberi perlakuan ekstrak bawang putih tunggal. Pemberian ekstrak bawang putih tunggal tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kadar hemoglobin (p = 0,226). Kelompok N (0%), kadar hemoglobin terukur dan memiliki kadar yang lebih tinggi yaitu 70%. Kadar hemoglobin paling rendah secara berturut-turut dari 60% (P2); 60% (P3); 63,33% (P4); 66,67%; dan 70% (P1) (Gambar 1). Pemberian ekstrak bawang putih tunggal tidak memberikan pengaruh pada kenaikan atau penurunan kadar hemoglobin. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis ekstrak bawang putih tunggal yang diberikan pada mencit, kadar Hb tidak mengalami penurunan sesuai dengan peningkatan dosis ekstrak. Kadar haemoglobin secara berturut-turut dari yang terendah meliputi kelompok P2 < P3 < P4 < P1 < N.

Gambar 1. Rerata Kadar Hemoglobin(%)

Hasil pengukuran kadar hematokrit (packed cell volume) kelompok N (0%) yaitu sebesar 41,0%. Nilai normal hematokrit pada tikus yaitu 38,5%–45,1% (Suckow, et al., 2001) Pemberian ekstrak bawang putih tunggal tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar hematokrit seiring dengan peningkatan dosis ekstrak bawang putih. Hasil penelitian menunjukkan kadar hematokrit perlakuan P1 (0,25%) mengalami penurunan sebesar 4,1% dibandingkan dengan kelompok N (0%). Kadar hematokrit pada P2 (0,5%) mengalami peningkatan sebesar 42,8% dibandingkan dengan kelompok N (0%). Kadar hematokrit pada P3 (1%) dan P4 (2%) mengalami penurunan sebesar 3,3% dan 4,8% dibandingkan kelompok N (0%) (Gambar 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih tunggal tidak memberikan pengaruh yang nyata pada peningkatan atau penurunan kadar hematokrit. Pada dosis 0,25%; 1%; dan 2%, ekstrak bawang putih tunggal dapat menurunkan kadar hematokrit. Sedangkan pada dosis 0,5%, ekstrak bawang putih tunggal dapat meningkatkan kadar hematokrit.

Gambar 2. Kadar Hematokrit (%)

Jumlah eritrosit juga dihitung untuk mengetahui efek toksik dari ekstrak bawang putih tunggal. pemberian ekstrak bawang putih tunggal menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah eritrosit (p = 0,000). Rata-rata jumlah eritrosit berturut-turut 3,4900 x 106 sel/mm3 (N); 5,8800 x 106 sel/mm3 (P1); 5,9100 x 106 sel/mm3 (P2); 8,0767 x 106 sel/mm3 (P3); dan 9,9800 x 106 sel/mm3 (P4) (Gambar 3). Pemberian dosis ekstrak bawang putih tunggal yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pada jumlah eritrosit yang berbeda. Setiap pemberian ekstrak (0,25%; 0,5%; 1%; dan 2%), jumlah eritrosit meningkat dibandingkan kelompok normal (0%). Jumlah eritrosit secara berturut-turut dari yang terendah meliputi kelompok N < P3 ≤ P1 < P4 < P2.

Gambar 3. Rerata Jumlah Eritrosit (sel/mm3)

Pemberian ekstrak bawang putih tunggal juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah leukosit (p = 0,000). Rata-rata jumlah leukosit secara berturut-turut dari yang terendah 2.483,33 sel/mm3 (N); 2.900 sel/mm3 (P1); 3.566,67 sel/mm3 (P2); 7.416,67 sel/mm3 (P3); dan 11.533,33 sel/mm3 (P4) (Gambar 4). Pemberian ekstrak bawang putih tunggal memberikan pengaruh nyata pada jumlah leukosit. Semakin tinggi dosis ekstrak bawang putih tunggal yang diberikan, maka semakin bertambah jumlah leukosit. Jumlah leukosit kelompok N ≤ P1 ≤ P2 < P3 < P4.

Gambar 4. Rerata Jumlah Leukosit (sel/mm3)

Kadar hemoglobin pada kelompok normal (0%) memiliki persentase tertinggi dan setiap peningkatan dosis ekstrak bawang putih tunggal tidak berpengaruh nyata pada kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin paling rendah yaitu pada kelompok yang diberi dosis 0,5% (P2) dan 1% (P3). Berdasarkan analisis statistik, ekstrak bawang putih tunggal tidak berpengaruh pada kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin pada 0,25%; 0,5%; 1%; dan 2% dari kelompok normal (0%) masih dalam rentang normal. Ekstrak bawang putih tunggal juga tidak berpengaruh nyata terhadap kadar hematokrit. Kadar normal hematokrit yaitu 38,5–45,1% (Suckow, et al., 2001). Hal ini menunjukkan bahwa kadar hematokrit kelompok normal (0%) berada dalam rentang normal. Kadar hematokrit paling rendah yaitu pada dosis 2% dan memberikan arti terdapat penurunan kadar hematokrit pada dosis tertentu dari ekstrak bawang putih tunggal. Namun pada dosis tertentu juga (0,5%), ekstrak bawang putih tunggal dapat menaikan kadar hematokrit. Berdasarkan hal tersebut, maka ekstrak bawang putih tunggal tidak memberikan efek nyata pada penurunan atau peningkatan kadar hematokrit.

Ekstrak bawang putih tunggal memberikan pengaruh nyata pada jumlah eritrosit. Rerata jumlah eritrosit paling rendah yaitu pada dosis 0% dan meningkat pada peningkatan dosis ekstrak. Namun peningkatan ini tidak sebanding dengan peningkatan dosis ekstrak bawang putih tunggal. Rerata jumlah eritrosit tertinggi dijumpai pada dosis 0,5%. Peningkatan jumlah eritrosit berkaitan dengan peningkatan kadar gluthatione pada sel darah merah. Semua komponen bawang putih (Allium sativum) dapat meningkatkan kadar gluthation dalam sel darah merah. Salah satu komponen senyawa sulfur yang berfungsi meningkatkan level glutathione sel darah merah (Sheen, et al., 1999). Sehingga ekstrak bawang putih tunggal tidak terbukti menimbulkan efek toksik pada jumlah eritrosit. Hal ini sejalan dengan penelitian Metwally, 2009 dan Gebreyohannes, et al., 2013, bawang putih berfungsi sebagai antioksidan. Ekstrak bawang putih menunjukkan efek antioksidan dan meningkatkan kadar serum dua enzim antioksidan, yaitu katalase dan glutathione peroksidase (Prasad, et al., 1995).

Pengaruh ekstrak bawang putih tunggal jika dilihat dari jumlah leukosit, maka ekstrak tersebut berpengaruh nyata terhadap jumlah leukosit. Jumlah leukosit paling rendah yaitu pada dosis 0% (normal) dan meningkat sesuai dengan peningkatan dosis ekstrak. Jumkah leukosit tertinggi yaitu pada dosis 2% (P4). Peningkatan jumlah leukosit berkaitan dengan bawang putih dapat meningkatkan fungsi imunologi darah (Nwabueze, 2012). Bawang putih mengandung sulfur yang dapat menginisiasi peningkatan sistem imun(Lau, et al., 1991). Peningakatan jumlah leukosit berkaitan dengan adanya efek stimulasi fungsi imun dan kapasitas fagositosis (Salman, et al., 1999). Penelitian lain menyebutkan bahwa peningkatan jumlah leukosit mungkin dihasilkan dari ekstrak bawang putih untuk menghambat migrasi neutrofil (Dudek, et al., 2006). Pemberian ekstrak bawang putih juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme pertahanan non spesifik (granulosit, monosit, dan lisozim) dan pertahanan spesifik (limfosit, IgG) (Srivastava and Pathak, 2012). Penghambatan migrasi neutrofil kemungkinan akan meningkatkan jumlah neutrofil dalam sistem sirkulasi, sehingga meningkatkan leukosit total. Aktivasi pertahanan non spesifik dan spesifik menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total.

Berdasarkan uji statistik dari empat parameter, kadar hemoglobin dan kadar hematokrit tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Sedangkan jumlah eritrosit dan jumlah leukosit memiliki perbedaan yang signifikan dari berbagai variasi dosis yang diberikan. Peningkatan dosis ekstrak tidak sebanding dengan peningkatan atau penurunan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, dan jumlah eritrosit. Namun jumlah leukosit berbanding lurus dengan peningkatan dosis ekstrak.

KESIMPULAN dan SARAN

Pemberian ekstrak bawang putih tunggal secara oral tidak memberikan efek toksik secara subkronis pada gambaran hematologi mencit. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang peningkatan jumlah leukosit total dengan adanya pemberian ekstrak bawang putih tunggal untuk mengetahui leukosit jenis apakah yang meningkat dan efek yang ditimbulkan dalam sistem sirkulasi darah.

DAFTAR REFERENSI

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Jakarta:Badan Pengawas Obat dan Makanan

Benkeblia N. 2004. Antimicrobial activity of essential oil extracts of various onions (Allium cepa) and garlic (Allium sativum). Algeria:Department of Biology, Monstaganem University. Lebensm-Wiss.u.-Technol. 37:263–268 https://doi.org/10.1016/j.lwt.2003.09.001

Bezu T, Gedamu F, Dechasse N, Hailu M. 2014. Registration of 'Chelenko P garlic (Allium sativum L.) Variety. East African Journal of Science. 8(1):71–74

Block E. 1992. The Organosulfur Chemistry of the Genus Allium-Implications for the Organic Chemistry of Sulfur. Albany: Department of Chemistry, State University of New York at Albany. Angew. Chem. Int. ed. Engl. 3f:1135–1178 https://doi.org/10.1002/anie.199211351

Borlinghaus J, Albrecht F, Gruhlk MCH, Nwachukwu I, Slusarenko AJ. 2014. Allicin: Chemistry and Biological Properties. Molecules. 19:12591–12618 https://doi.org/10.3390/molecules190812591

Choi IS, Cha HS, Lee YS. 2014. Physicochemical and Antioxidant Properties of Black Garlic. Molecules. 19:16811–16823 https://doi.org/10.3390/molecules191016811

Chung LY. 2006. The Antioxidant Properties of Garlic Compunds:Allyl Cysteine, Alliin, Allicin, and Allyl Disulfide. Journal of Medical Food. 9(2):205–213 https://doi.org/10.1089/jmf.2006.9.205

Dudek K, Sliwa E, Tatara MR. 2006. Changes In Blood Leukocyte Pattern In Piglets From Sows Treated With Garlic Preparations. Bull Vet Inst Pulawy. 50:263–267

Eidi A, Eidi M, Esmaeili E. 2006. Antidiabetic effect of garlic (Allium sativum L.) in normal and streptozotocin-induced diabetic rats. Phytomedicine. 13:624–629 https://doi.org/10.1016/j.phymed.2005.09.010

Gebreyohannes G, Gebreyohannes M. 2013. Medicinal values of garlic: A review. International Journal of Medicine and Medical Sciences. 5(9):401–408

Iweala EE, Akubugwo EI, Okeke CU. 2005. Effect of Ethanolic Extracts of Allium sativum Linn. Liliaceae (Garlic) on Serum Cholesterol and Blood Sugar Level of Albino Rabbits. Plant Product Research Journal. 9:14–18

Kemper KJ. 2000. Garlic (Allium sativum). The Longwood Herbal Task Force and Center for Holistic Pediatric Education and Research

Kopin LA. 2010. In The Clinic. Dyslipidemia. American College of Physicians

Lau BHS, Yamasaki T, Gridley DS. 1991. Garlic compound modulate macrophage and T-lymphocyte functions. Mol. Biother. 3(2):103–107

Sheen LY, Chen HW, Kung YL, Liu CT, Lii CK. 1999. Effects of garlic oil and its organosulfur compunds on the activities of hepatic drug–metabolizing and antioxidant enzymes in rats fed high–and low-fat diets. Nutr Cancer. 35 (2):160–6 https://doi.org/10.1207/S15327914NC352_10

Marsoul RD, Abbood RM, Abbas MT. 2016. Effect of Garlic Oil on Cyclosporine Induced Renal Toxicity in Rats. International Journal of Pharmacy & Pharmaceutical Research. 5(2).

Metwally MAA. 2009. Effect of Garlic (Allium Sativum) on Some AntioxidantActivities in Tilapia Nilotica (Oreochromis niloticus). World Journal of Fish and Marine Sciences. 1(1):56–64.

Neeraj S, Sushila K, Neeraj D, Milind P, Minakshi P. 2014. Garlic: A Pungent Wonder From Nature. International Research Journal of PharmacyI. 5(7):523–529 https://doi.org/10.7897/2230-8407.0507106

Nugroho SHP. 2015. Pengaruh Pemberian Bawang Putih Tunggal (Allium Sativum Linn.) Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Di Dusun Juwet Desa Magersari Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban. Surya Jurnal Media Komunikasi Ilmu Kesehatan. 7(3):45–51

Nwabueze AA. 2012. The Effect of Garlic (Allium sativum) on Growht and Haematological Parameters of Clarias gariepinus (Burchell, 1822). Sustainable Agriculture Research. 1(2):222–228 https://doi.org/10.5539/sar.v1n2p222

Prasad K, Laxdal VA, Yu M, Raney BL. 1995. Antioxidant activity of allicin, an active principle in garlic. Mol Cell Biochem 1995. 148(2):183–189 https://doi.org/10.1007/BF00928155

Reinhart KM, Coleman CI, Teevan C, Vachhani P, White C. 2008. Effect of Garlic on Blood Pressure in Patients with and Without Systolic Hypertension:A Meta-Analysis. The Annals of Pharmacotherapy. 42(12):1766–1771 https://doi.org/10.1345/aph.1L319

Salman H, Bergman M, Bessler H, Punsky I, Djaldetti M. 1999. Effect of garlic derivative (alliin) on peripheral blood cell immune responses. International Journal Of Immunopharmacology. 21(9):589–597 https://doi.org/10.1016/S0192-0561(99)00038-7

Srivastava S, Pathak PH. 2012. Effect of Garlic (Allium sativum) Extract in Pattern Of Differential Count Of WBC In Female Albino Rats. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research. 13(2):83–86

Stevinson C, Pittler MH, Ernst E. 2000. Garlic for Treating Hypercholesterolemia, A Meta-Analysis of Randomized Clinical Trials. Annals of Internal Medicine. 133(6):420–429 https://doi.org/10.7326/0003-4819-133-6-200009190-00009

Suckow MA, Danneman P, Brayton C. 2001. The laboratory Mouse (A Volume In The Laboratory Animal Pocket Reference Series). Boca Raton, London, New York, Washington DC:CRC Press

Tesfaye A, Mangesha W. 2015. Traditional Uses, Phytochemistry and Pharmalogical Properties of Garlic (Allium sativum) and its Biological Active Compounds. International Journal of Scientific Research, Engineering and Technology. 1(5):142–148

Thomson M, Al-Amin ZM, Al-Qatan KK, Shaban LH, Ali M. 2007. Anti-diabetic and hypolipidaemic properties of garlic (Allium sativum) in streptozotocin-induced diabetic rats. Int J Diabetes & Metabolism. 15:108–115

Yeh YY, Liu L. 2001. Cholesterol-Lowering Effect of Garlic Extract and Organosulfur Compunds: Human and Animal Studies. The Journal of Nutrion. 131(3):9895–9935

Article Reads

Total: 25079 Abstract: 7308

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

 

Daily Visit

The last two months

View complete Google Analytics report here
 

This website is maintained by:
Bio Publisher
The Faculty of Biology Publishing

Faculty of Biology
Universitas Jenderal Soedirman
Jalan dr. Suparno 63 Grendeng
Purwokerto 53122

Telephone: +62-281-625865
Email: biologi@unsoed.ac.id

T his website uses:
OJS | Open Journal System
A free journal management and publishing system that has been developed by the PKP (Public Knowledge Project) version 2.4.8.0.

All article content metadata are registered to:
Crossref
An official nonprofit  Registration Agency of the International Digital Object Identifier (DOI) Foundation.

Articles in this journal are indexed by:

Complete index list  »