PENDAHULUAN
Tanaman kecipir sudah dikenal di Indonesia meskipun belum
dibudidayakan secara luas. Menurut Rismunandar (1983), secara umum penanaman
kecipir masih sangat terbatas. Meskipun demikian, kecipir merupakan tanaman
yang potensial bagi perbaikan gizi masyarakat. Menurut Rukmana (2000), beberapa
manfaat kecipir antara lain, sebagai bahan makanan manusia, obat tradisional,
dan pakan ternak. Selain itu, kecipir juga bermanfaat sebagai tanaman penyubur
tanah, penahan erosi, tanaman penutup tanah dan pembasmi gulma.
Kecipir
memiliki nilai gizi yang amat baik. Kandungan gizi kecipir antara lain protein,
lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B1 dan
vitamin C. Proporsi kandungan protein, lemak dan karbohidrat biji kecipir lebih
unggul dibandingkan daging sapi, domba dan kacang-kacangan lainnya (Direktorat
Gizi Depkes RI, 1981 dalam Rukmana,
2000).
Sentra tanaman kecipir
diperkirakan dari Papua Nugini, Mauritius, Madagaskar, dan India (Krisnawati,
2010). Meskipun telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, hingga saat ini
kecipir belum dibudidayakan secara luas. Oleh karena itu, luas pertanaman
kecipir, potensi hasil maupun keuntungan budidaya kecipir belum diketahui
secara jelas. Berbeda dengan negara lain yang telah membudidayakan kecipir
secara komersial, seperti Myanmar dan Nigeria, dengan potensi hasil
35,50−40 ton polong muda/ha atau setara dengan 4,50 ton biji kering/ha
(Rukmana, 2000).
Pemuliaan tanaman
memiliki peranan penting dalam industri pertanian, khususnya dalam perakitan
varietas-varietas unggul. Teknik mutasi merupakan salah satu metode pemuliaan
tanaman yang banyak digunakan. Teknik ini menggunakan bahan mutagen, seperti sinar
gamma, untuk menginduksi terjadinya mutasi pada tanaman. Mutasi dapat
meningkatkan keragaman genetik tanaman. Mutan-mutan yang dihasilkan kemudian
dapat dijadikan sebagai populasi dasar untuk seleksi dalam program pemuliaan
lebih lanjut. Pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi telah menghasilkan banyak
varietas mutan tanaman komersial. Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik
yang berasal dari radioisotop dan reaksi nuklir. Energinya mencapai beberapa
MeV dan daya tembusnya banyak dalam hitungan sentimeter (Soeranto, 2003). Penelitian
pemuliaan menggunakan teknik induksi mutasi telah menghasilkan antara lain
mutan kedelai M6 yang toleran kekeringan dan berdaya hasil tinggi (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian, 2011).
Metode RAPD (Random
Amplified Polymorphic DNA) adalah metode untuk menghasilkan profil finger
printing DNA dengan menggunakan primer acak yang banyak digunakan dalam
berbagai studi keragaman genetik (Pratiwi, 2012). Williams et
al. (1990), telah mengembangkan metode RAPD (Random Amplified Polymorphic
DNA) untuk menghasilkan marker polimorfik yang tepat dan dapat digunakan
untuk menentukan variasi dan kekerabatan genetik pada tumbuhan. Menurut Nair et
al. (2002), metode PCR RAPD banyak digunakan untuk analisis keragaman genetik.
Koshy et al. (2013) menggunakan marka RAPD untuk amplifikasi DNA dari plantlet invitro kecipir untuk mengevaluasi
kestabilan genetiknya.
Induksi mutasi merupakan teknik yang telah
banyak digunakan dalam pengembangan berbagai komoditi dan sangat cepat untuk
meningkatkan keanekaragaman genetik. Kecipir memiliki potensi yang besar, namun
belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan latar belakang di atas dapat
dirumuskan permasalahan yaitu; bagaimana profil RAPD tanaman kecipir hasil
mutasi iradiasi sinar gamma, dan bagaimana keragaman genetik kecipir hasil
iradiasi sinar gamma. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini dilaksanakan
dengan tujuan sebagai berikut:
1.
Mengetahui profil RAPD tanaman
kecipir hasil mutasi iradiasi sinar gamma.
2.
Mengetahui keragaman genetik
kecipir hasil iradiasi sinar gamma.
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai sumber informasi mengenai keragaman genetik kecipir hasil mutasi
menggunakan iradiasi sinar gamma. Mutasi adalah terjadinya perubahan materi
genetik suatu makhluk yang terjadi secara acak dan merupakan dasar bagi sumber
variasi organisme hidup yang bersifat terwariskan (Soeranto, 2003). Menurut
IAEA (1977), mutasi dapat terjadi secara spontan di alam dan melalui induksi.
Mutagen yang sering digunakan dalam penelitian pemuliaan tanaman adalah mutagen
kimia seperti, senyawa alkil (EMS, dES, MMS, dan lain-lain) dan juga mutagen
fisika yang bersifat sebagai radiasi pengion seperti, sinar-X, radiasi gamma,
radiasi beta, neutrons dan lain-lain. Hartanti (2012), dalam penelitiannya
menggunakan EMS sebagai mutagen untuk menghasilkan variasi genetik pada
kecipir. Namun, variasi yang dihasilkan tidak terlalu signifikan. Sinar gamma
merupakan mutagen fisik yang daya tembusnya sangat besar sehingga diharapkan
induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma dapat menghasilkan variasi yang
lebih signifikan. Penelitian Sulistiyaningsih et al. (2012) terhadap anggrek bulan hasil iradiasi sinar gamma dosis 15
dan 40 Gy dengan teknik RAPD menunjukkan variabilitas genetik tinggi
dibandingkan tanpa perlakuan.
METODE
Metode
penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah eksperimen dengan
menggunakan teknik RAPD. Sampel berupa daun tanaman kecipir yang telah
diinduksi sinar gamma dengan panjang gelombang 20 Gy, 25 Gy dan tanaman kontrol
yang tidak diinduksi sinar gamma. Masing-masing perlakuan menggunakan 5 sampel
tanaman.
Tanaman kecipir yang digunakan merupakan koleksi Laboratorium Genetika Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman.
Sampel tanaman kecipir terdiri atas tanaman kontrol dan tanaman yang
ditumbuhkan dari biji yang telah diberi perlakuan iradiasi sinar gamma. Induksi
mutasi biji kecipir dilakukan di BATAN, Jakarta.
1. Pengambilan
sampel daun kecipir. Daun kecipir muda dan segar diambil dari tanaman kontrol,
dan tanaman yang telah diinduksi sinar gamma 20 Gy dan 25 Gy, dimasukkan ke
dalam amplop yang diberi silica gel.
2. Isolasi
DNA genom kecipir. Sampel daun kecipir yang digunakan sebanyak 0,05 gr. Isolasi
DNA genom dilakukan menggunakan metode CTAB Doyle and Doyle (1990) yang telah
dimodifikasi oleh laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Fakultas
Pertanian Universitas Gajah Mada.
3. Kuantifikasi
DNA. Kuantifikasi adalah prosedur untuk mengetahui konsentrasi dan kualitas DNA
yang telah diekstraksi. Alat yang digunakan untuk kuantifikasi adalah
spektrofotometer Genequant 1300. Sebelum dilakukan pengukuran, kuvet
dibersihkan terlebih dahulu menggunakan alkohol dan aquabides serta dilakukan
kalibrasi. Untuk menghitung konsentrasi DNA, 2 µl sampel DNA ditambahkan 1.998
µl aquabides.
4. Amplifikasi
fragmen DNA genom kecipir menggunakan teknik RAPD. Volume total untuk PCR
adalah 10 µl, terdiri atas 5 µl Go Taq
green master mix PCR 2x, 2,25 µl nuclease
free water, 0,25 µl 50 µM primer dan 2,5 µl 5ng DNA. DNA diamplifikasi
menggunakan PCR thermal cycler BOECO. Pre-heating untai
ganda DNA template pada suhu 95oC selama 1 menit, denaturasi pada
suhu 95oC selama 45 detik, tahap penempelan (annealing) primer pada suhu 37oC selama 1 menit, pemanjangan
primer (extension) pada suhu 72oC
selama 1 menit 30 detik. Siklus diulang sebanyak 35 kali. Final extension pada
suhu 72oC selama 7 menit, diakhiri
dengan holding pada suhu 42oC selama 1 menit.
Pada
tahap skrining digunakan 38 primer dengan tiga sampel
dari tiap perlakuan, kemudian dipilih 10
primer yang menghasilkan marka yang jelas dan polimorfik. Sekuen kesepuluh
primer tersebut dapat dilihat pada tabel 1.
No. |
Primer |
Sekuen |
1. |
OPA 9 |
5’- GGGTAACGCC -3’ |
2. |
OPA
10 |
5’- GTGATCGCAG -3’ |
3. |
OPA
13 |
5’- CAGCACCCAC -3’ |
4. |
OPA
18 |
5’- AGGTGACCGT -3’ |
5. |
OPB 2 |
5’- TGATCCCTGG -3’ |
6. |
OPB 3 |
5’- CATCCCCCTG -3’ |
7. |
OPB 6 |
5’- TGCTCTGCCC -3’ |
8. |
OPB 7 |
5’- GGTGACGCAG -3’ |
9. |
OPB
10 |
5’- CTGCTGGGAC -3’ |
10. |
OPB
11 |
5’- GTAGACCCGT -3’ |
Visualisasi marka RAPD. Produk PCR yang diperoleh
dilihat menggunakan teknik elektroforesis yang di running menggunakan gel agarosa 1% dengan TBE 1x dan telah
ditambahkan Florosafe DNA staining.
Elektroforesis dilakukan selama 60 menit dengan tegangan 80 V.
Pengambilan sampel daun kecipir
(kontrol, perlakuan 20 Gy dan perlakuan 25 Gy) masing-masing 5 sampel |
|||
|
|||
Isolasi DNA genom kecipir menggunakan
CTAB |
|||
|
|||
Kuantifikasi DNA menggunakan spektrofotometer |
|||
|
|||
PCR-RAPD |
|||
|
|||
Elektroforesis |
|||
|
|
||
Didokumentasikan |
Analisis polimorfisme menggunakan
GenAlex 6.1 |
Visualisasi
dilakukan pada paparan sinar UV menggunakan UV transluminator. Setelah itu,
hasil didokumentasikan dengan kamera digital.
Analisis polimorfisme DNA kecipir. Profil pola fragmen DNA masing-masing
primer diskoring berdasarkan ada tidaknya fragmen menggunakan kode biner. Skor
1 jika ada fragmen dan skor 0 jika tidak ada fragmen tanpa memandang
intensitasnya. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Metode
Analisis dilakukan secara deskriptif, berdasarkan ada tidaknya fragmen DNA yang
dihasilkan. Pola fragmen RAPD diubah menjadi data biner. Setelah itu dilakukan
analisis variasi genetik dan jarak genetik menggunakan program GenAlex 6.1.
HASIL dan PEMBAHASAN
Hasil isolasi DNA memiliki nilai
konsentrasi berkisar antara 900-7500 ng/µl. Nilai
kemurnian Å260/Å280 berkisar antara 1,235-1,732 (Tabel 2). Menurut
Sambrook et al. (1989), kisaran kemurnian yang dibutuhkan dalam analisis
molekuler adalah Å260/Å280 1,8-2,0. Nilai Å260/Å280 menunjukkan perbandingan
DNA dan protein (Weissbach dan Weissbach, 1988). Kemurnian DNA dapat ditentukan
menggunakan perbandingan nilai densitas optik pada berbagai panjang gelombang.
DNA murni diamati pada rasio Å260/Å280 nm pada kisaran 1,8. Peningkatan rasio
biasanya menunjukkan adanya RNA, sedangkan rasio dibawah 1,8 menandakan adanya
kontaminasi protein atau fenol. Kontaminasi protein atau fenol dapat dilihat
juga pada rasio Å230/Å260 dengan nilai lebih besar dari 0,5 (Clark and
Christopher, 2001).
Rasio yang
diperoleh berada dibawah 1,8, hal ini dimungkinkan karena DNA terkontaminasi
oleh protein. Menurut Innis et al. (1990), amplifikasi PCR tidak membutuhkan kualitas dan kuantitas DNA yang terlalu tinggi, sampel
setidaknya memiliki sedikitnya satu untai DNA utuh dengan kontaminan yang cukup
encer sehingga tidak mengganggu polimerisasi. Menurut Zainudin (2006), tingkat
kemurnian DNA yang dibutuhkan pada RAPD tidak perlu terlalu tinggi, teknik ini
toleran terhadap tingkat kemurnian DNA yang beragam. Dalam metode PCR tetap
dibutuhkan prosedur untuk meminimalkan kontaminan yang dapat mengganggu reaksi
PCR seperti polisakarida dan metabolit sekunder. Hasil isolasi DNA sampel dapat
digunakan untuk analisis selanjutnya, tetapi sebelumnya disamakan
konsentrasinya, sehingga hasil dilusi DNA menjadi 5 ng/µl.
Hasil
isolasi DNA memiliki nilai konsentrasi berkisar antara 900-7500 ng/µl. Nilai
kemurnian Å260/Å280 berkisar antara 1,235-1,732 (Tabel 2). Menurut Sambrook et
al. (1989), kisaran kemurnian yang dibutuhkan dalam analisis molekuler adalah
Å260/Å280 1,8-2,0. Nilai Å260/Å280 menunjukkan perbandingan DNA dan protein
(Weissbach dan Weissbach, 1988). Kemurnian DNA dapat ditentukan menggunakan
perbandingan nilai densitas optik pada berbagai panjang gelombang. DNA murni
diamati pada rasio Å260/Å280 nm pada kisaran 1,8. Peningkatan rasio biasanya
menunjukkan adanya RNA, sedangkan rasio dibawah 1,8 menandakan adanya
kontaminasi protein atau fenol. Kontaminasi protein atau fenol dapat dilihat
juga pada rasio Å230/Å260 dengan nilai lebih besar dari 0,5 (Clark and Christoper,
2001).
Rasio yang
diperoleh berada dibawah 1,8, hal ini dimungkinkan karena DNA terkontaminasi
oleh protein. Menurut Innis et al. (1990), amplifikasi PCR tidak membutuhkan
kualitas dan kuantitas DNA yang terlalu tinggi, sampel setidaknya memiliki sedikitnya
satu untai DNA utuh dengan kontaminan yang cukup encer sehingga tidak
mengganggu polimerisasi.
No |
Nama Sampel |
Konsentrasi (ng/µl) |
Kemurnian (Å260/Å280) |
Å230 |
Å260 |
Å280 |
1 |
P0.1 |
7500 |
1,724 |
0,090 |
0,150 |
0,087 |
2 |
P0.2 |
3750 |
1,562 |
0,052 |
0,075 |
0,048 |
3 |
P0.3 |
5400 |
1,543 |
0,071 |
0,108 |
0,070 |
4 |
P0.4 |
1550 |
1,409 |
0,024 |
0,031 |
0,022 |
5 |
P0.5 |
2300 |
1,643 |
0,032 |
0,046 |
0,028 |
6 |
P20.1 |
3700 |
1,510 |
0,052 |
0,074 |
0,049 |
7 |
P20.2 |
2700 |
1,543 |
0,045 |
0,054 |
0,035 |
8 |
P20.3 |
900 |
1,636 |
0,013 |
0,018 |
0,011 |
9 |
P20.4 |
4250 |
1,545 |
0,059 |
0,085 |
0,055 |
10 |
P20.5 |
6150 |
1,519 |
0,091 |
0,123 |
0,081 |
11 |
P25.1 |
1050 |
1,235 |
0,026 |
0,021 |
0,017 |
12 |
P25.2 |
6500 |
1,625 |
0,083 |
0,130 |
0,080 |
13 |
P25.3 |
4850 |
1,732 |
0,055 |
0,097 |
0,056 |
14 |
P25.4 |
3050 |
1,605 |
0,049 |
0,061 |
0,038 |
15 |
P25.5 |
4350 |
1,673 |
0,054 |
0,087 |
0,052 |
Keterangan: P0 = Kontrol, P20 = Perlakuan iradiasi 20 Gy, P25 =
Perlakuan iradiasi 25 Gy, 1-5 = Nomor sampel
Menurut
Zainudin (2006), tingkat kemurnian DNA yang dibutuhkan pada RAPD tidak perlu
terlalu tinggi, teknik ini toleran terhadap tingkat kemurnian DNA yang beragam.
Dalam metode PCR tetap dibutuhkan prosedur untuk meminimalkan kontaminan yang
dapat mengganggu reaksi PCR seperti polisakarida dan metabolit sekunder. Hasil
isolasi DNA sampel dapat digunakan untuk analisis selanjutnya, tetapi
sebelumnya disamakan konsentrasinya. Hasil dilusi DNA menjadi 5 ng/µl.
Proses PCR RAPD menggunakan sepuluh primer
terpilih menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran (Tabel 3). Sepuluh primer tersebut
menghasilkan fragmen amplifikasi dengan intensitas yang tidak selalu sama. Profil
RAPD ketiga populasi kecipir menunjukkan perbedaan atau variasi.
Primer |
Sampel |
Ukuran
fragmen yang dihasilkan (bp) |
OPA 9 |
Kontrol |
350, 500,
600, 1000 |
Perlakuan
20 Gy |
350, 600,
1000,1300 |
|
Perlakuan
25 Gy |
350, 600,
1000, |
|
OPA 10 |
Kontrol |
300, 600 |
Perlakuan
20 Gy |
300, 350,
400, 600 |
|
Perlakuan
25 Gy |
400, 600 |
|
OPA 13 |
Kontrol |
500, 800,
1200 |
Perlakuan
20 Gy |
500, 800 |
|
Perlakuan
25 Gy |
500, 800,
1200 |
|
OPA 18 |
Kontrol |
350, 500,
600, 1200, 1600 |
Perlakuan
20 Gy |
300, 350,
450, 500, 600, 1200, 1600 |
|
Perlakuan
25 Gy |
300, 350,
450, 500, 600, 700, 1000, 1200 |
|
OPB 2 |
Kontrol |
200, 250,
350 |
Perlakuan
20 Gy |
250, 350,
500, 600 |
|
Perlakuan
25 Gy |
250, 350,
500, 600, 700 |
|
OPB 3 |
Kontrol |
350, 450,
600 |
Perlakuan
20 Gy |
300, 350,
450, 650, 700, 1000 |
|
Perlakuan
25 Gy |
300, 350,
600, 700, 1000 |
|
OPB 6 |
Kontrol |
300, 500,
600, 1400 |
Perlakuan
20 Gy |
300, 500,
600, 700, 1400 |
|
Perlakuan
25 Gy |
300, 500,
600, 1400 |
|
OPB 7 |
Kontrol |
250, 500,
600, 700, 800, 1400, 1800 |
Perlakuan
20 Gy |
250, 350,
400, 500, 600, 800, 1000, 1100, 1800 |
|
Perlakuan
25 Gy |
250, 500,
600, 800, 1800 |
|
OPB 10 |
Kontrol |
350, 600,
800, 1300 |
Perlakuan
20 Gy |
350, 600,
700, 800, 1200, 1300 |
|
Perlakuan
25 Gy |
350, 600,
800, 1200 |
|
OPB 11 |
Kontrol |
400, 600,
700, 800 |
Perlakuan
20 Gy |
400, 600,
700, 800 |
|
Perlakuan
25 Gy |
300, 400,
600, 700 |
Keterangan: Pop1 = kontrol, Pop2 = perlakuan 20 gy, Pop3 = perlakuan
25 gy
Populasi |
% Polimorfisme |
Kontrol |
47.54% |
Perlakuan 20 Gy |
62.30% |
Perlakuan 25 Gy |
54.10% |
N |
Na |
Ne |
I |
h |
uh |
|
Mean |
5.000 |
1.273 |
1.359 |
0.312 |
0.211 |
0.263 |
SE |
0.000 |
0.064 |
0.027 |
0.022 |
0.015 |
0.019 |
Keterangan :
N: jumlah alel, Na: jumlah alel yang berbeda, Ne: jumlah alel yang efektif, I:
indeks shanon, h: variasi genetik, uh : variasi genetik tidak bias
Sedangkan jarak genetik pada
perhitungan unbiased nilai terendah
terdapat pada perlakuan 20 Gy dengan perlakuan 25 Gy sebesar 0,012 dan nilai
tertinggi pada kontrol dengan perlakuan 25 Gy sebesar 0,069.
Identitas genetik berdasarkan
perhitungan biased yang memiliki
nilai terendah adalah kontrol dengan perlakuan 25 Gy sebesar 0,856 dan nilai
tertinggi sebesar 0,895 antara perlakuan 20 Gy dengan perlakuan 25 Gy.
Sedangkan perhitungan unbiased nilai
terendah terdapat pada kontrol dengan perlakuan 25 Gy sebesar 0,933 dan
tertinggi pada perlakuan 20 Gy dengan 25 Gy sebesar 0,988 (Tabel 6.). Jarak
genetik intrapopulasi dapat dilihat melalui PCA. Jarak genetik yang terjadi
menjadi gambaran tentang variasi genetik yang ada. Jarak populasi kontrol tidak
terlalu jauh satu sama lain, perlakuan 20 Gy berjauhan satu sama lain, dan
perlakuan 25 Gy ada tiga sampel yang jaraknya dekat tetapi ada pula yang
jaraknya jauh (Gambar 3).
Amplifikasi menggunakan OPA 9
menghasilkan marka RAPD berukuran 350 pb, 500 pb, 600 pb, 1000 pb dan 1300 pb.
Beberapa sampel memiliki pola yang berbeda. Fragmen paling banyak muncul pada
perlakuan kontrol.
OPA 10 amplifikasinya
menghasilkan marka pada ukuran 350 pb, 350 pb, 400 pb, 600 pb. Intensitas
fragmen yang dihasilkan tidak terlalu jelas, namun masih dapat dibaca. Pola
fragmen perlakuan 20 Gy dan 25 Gy memiliki pola yang berbeda dengan kontrol.
Perlakuan 20 Gy memiliki polimorfisme yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan
25 Gy.
Hasil amplifikasi menggunakan OPA
13 menghasilkan marka berukuran 500 pb, 800 pb dan 1200 pb. Pola fragmen pada
semua sampel hampir sama kecuali pada kontrol sampel 4 dan 5 (P0.4 dan P0.5)
dan perlakuan iradiasi 25 Gy sampel 1 dan 3 (P25.1 dan P25.3). Amplifikasi
menggunakan OPA 13 menghasilkan marka yang cukup jelas. Hal ini dimungkinkan
adanya fragmen yang menumpuk karena memiliki ukuran yang sama.
Amplifikasi menggunakan OPA 18
menghasilkan marka dengan ukuran 300 pb, 350 pb, 450 pb, 500 pb, 600 pb, 700
pb, 1000 pb, 1200 pb, dan 1600 pb. Pola fragmen antar perlakuan menunjukkan
perbedaan. Sebagian besar fragmen yang dihasilkan tipis namun salah satu sampel
menunjukkan dua fragmen yang sangat jelas dibandingkan dengan yang lain.
Nilai |
Nei’s |
|||
Jarak genetik |
Identitas genetik |
|||
Biased |
Unbiased |
Biased |
Unbiased |
|
Terendah |
Perlakuan 20 Gy dengan Perlakuan 25 Gy (0,111) |
Perlakuan 20 Gy dengan Perlakuan 25 Gy (0,012) |
Kontrol dengan Perlakuan 25 Gy (0,856) |
Kontrol dengan Perlakuan 25 Gy (0,933) |
Tertinggi |
Kontrol dengan Perlakuan 25 Gy (0,155) |
Kontrol dengan Perlakuan 25 Gy (0,069) |
Perlakuan 20 Gy dgn Perlakuan 25 Gy (0,895) |
Perlakuan 20 Gy dgn Perlakuan 25 Gy (0,988) |
Amplifikasi dengan OPB 2
menghasilkan marka dengan ukuran 200 pb, 250 pb, 350 pb, 500 pb, 600 pb, dan
700 pb. Semua sampel menghasilkan fragmen kecuali sampel P0.2 tidak muncul
fragmen. Fragmen cukup terlihat jelas, namun ada beberapa fragmen yang sangat
tipis. Sampel yang diberikan perlakuan iradiasi 25 Gy memiliki pola fragmen
yang lebih polimorfik dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan 20 Gy.
Hasil amplifikasi menggunakan OPB
3 menghasilkan marka dengan ukuran 300 pb, 350 pb, 450 pb, 600 pb, 650 pb, 700
pb, dan 1000 pb. Intensitas setiap marka berbeda, ada yang sangat jelas namun
ada juga yang sangat tipis. Hal ini disebabkan karena jumlah DNA yang
teramplifikasi pada tiap marka jumlahnya berbeda.
Amplifikasi menggunakan OPB 6
menghasilkan marka dengan ukuran 300 pb, 500 pb, 600 pb, 700 pb, dan 1400 pb.
Fragmen yang dihasilkan memiliki pola yang hampir sama. Tingkat polimorfisme
dilihat dari fragmen yang terbentuk tidak terlalu tinggi pada amplifikasi
menggunakan primer ini, tetapi jumlah fragmen yang terbentuk banyak.
Hasil amplifikasi menggunakan OPB
7 memiliki ukuran marka sebesar 250 pb, 350 pb, 400 pb, 500 pb, 600 pb, 700 pb,
800 pb, 1000 pb, 1100 pb, 1400 pb, dan 1800 pb. Tingkat polimorfismenya cukup
tinggi dilihat dari pola fragmennya. Pola fragmennya berbeda pada tiap
perlakuan. Perbedaan ini juga dimungkinkan karena terjadin mutasi akibat
perlakuan yang diberikan.
Amplifikasi menggunakan OPB 10
menghasilkan marka dengan ukuran 350 pb, 600 pb, 700 pb, 800 pb, 1200 pb, dan
1300 pb. Fragmen berukuran 350 bp terlihat lebih tebal dibandingkan yang lain.
Adanya penebalan pada fragmen tersebut kemungkinan terjadi karena DNA yang
teramplifikasi jumlahnya banyak.
Amplifikasi dengan OPB 11
menghasilkan marka dengan ukuran 300 pb, 400 pb, 600 pb, 700 pb, dan 800 pb.
Pola fragmen antara kontrol dan perlakuan iradiasi menunjukkan perbedaan.
Kesepuluh primer yang digunakan
menghasilkan fragmen yang polimorfik. Terdapat satu sampel yaitu P0.2 yang
tidak menghasilkan fragmen ketika diamplifikasi menggunakan OPB 2.
Ketidakmunculan fragmen kemungkinan karena tidak terjadi penempelan primer.
Dalam penelitian ini juga diamati perbedaan intensitas marka yang dihasilkan.
Intensitas yang berbeda dapat disebabkan karena perbedaan kemurnian dan
konsentrasi DNA cetakan. Selain itu adanya kontaminan seperti senyawa
polisakarida, senyawa fenolik dan DNA cetakan yang konsentrasinya terlalu kecil
sering menghasilkan fragmen yang redup atau tidak jelas (Weeden et al., 1992 dalam Poerba et al., 2008).
Pharmawati (2009) melaporkan
bahwa pada konsentrasi DNA yang rendah justru menghasilkan pola yang konstan.
Menurut Roslim et al. (2003), pemilihan primer RAPD berpengaruh terhadap
polimorfisme pita yang dihasilkan, karena masing-masing primer memiliki situs
penempelan tersendiri. Akibatnya pita DNA polimorfik yang dihasilkan setiap
primer menjadi berbeda, baik dalam ukuran banyaknya pasang basa maupun jumlah
pita DNA. Perbedaan muncul tidaknya fragmen menunjukkan adanya polimorfisme.
Persentase lokus polimorfik pada
populasi kecipir kontrol adalah 47,54%, kecipir dengan perlakuan iradiasi 20 Gy
62,30%, kecipir dengan perlakuan iradiasi 25 Gy 54,10%. Persentase lokus
polimorfik tertinggi dijumpai pada perlakuan 20 Gy dan terendah pada tanaman
kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan dosis sinar gamma
yang dipaparkan tidak berbanding lurus dengan peningkatan nilai polimorfisme.
Nilai polimorfisme tanaman yang diberi perlakuan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pemaparan sinar gamma menyebabkan
peningkatan polimorfisme yang acak.
Pratiwi (2012) melaporkan bahwa
studi RAPD dengan empat primer yang digunakan pada tanaman Globba leucantha menghasilkan nilai polimorfisme lebih dari 50%. Menurut
Chaturvedi dan Fujita (2006), polimorfisme dapat dapat dihasilkan karena
perbedaan pola fragmen sebagai akibat penggunaan primer tertentu. Penelitian
Harahap et al. (2013) menunjukkan rata-rata polimorfisme dari Garcinia mangostana L. yang telah
diiradiasi sinar gamma dengan dosis 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50 Gy
sebesar 93.9% menggunakan 10 primer. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi sinar
gamma efektif untuk mengubah DNA G.
mangostana L.
Penelitian Roslim et al. (2003)
pada kelapa menggunakan sepuluh primer memperoleh pita RAPD yang berukuran 250
pb sampai 3000 pb. Jumlah pita DNA berkisar 7 sampai 15, atau rata-rata
menghasilkan 11 pita per primer. Polimorfisme pita DNA yang dihasilkan pada
penelitian ini sebesar 78% (87 pita) dari 112 total pita DNA yang diperoleh.
Hasil amplifikasi DNA karet
dengan 40 primer menggunakan metode RAPD memperlihatkan keragaman genetik yang
tinggi dengan nilai koefisien yang diperoleh sebesar 0.89-0.98 (Sa’adah, 2010).
Menurut Mistiyatin (2007) dalam Sa’adah
(2010), polimorfisme RAPD dihasilkan dari perbedaan sekuen pada satu atau kedua
sisi situs penempelan primer.
Variasi genetik juga dapat
dilihat dari nilai heterozigositas. Heterozigositas tertinggi terdapat pada
perlakuan iradiasi 20 Gy, sedangkan nilai heterozigositas terendah ditunjukkan
oleh tanaman kontrol. Keunikan fragmen paling tinggi dijumpai pada perlakuan
iradiasi 20 Gy.
Nilai Na (jumlah alel yang
berbeda) dari ketiga populasi >1 dengan rata-rata 1,273. Nilai Ne berkisar
1-2. Rata-rata Ne memenuhi persyaratan yaitu 1,359. Nilai variasi genetik total
populasi adalah 0,211. Nilai variasi genetik tanaman kontrol sebesar 0,194,
perlakuan iradiasi 20 Gy sebesar 0,236, perlakuan iradiasi 25 Gy sebesar 0,202.
Variasi genetik tertinggi terdapat pada perlakuan iradiasi 20 Gy. Nilai variasi
genetik tidak bias rata-rata total populasi sebesar 0,263 dengan nilai
rata-rata tiap populasi pada tanaman kontrol sebesar 0,243, perlakuan 20 Gy
sebesar 0,295 dan perlakuan 25 Gy sebesar 0,252. Nilai variasi tidak bias
memenuhi persyaratan karena berada diantara 0-1. Nagl et al. (2011) mengungkapkan variasi genetik
diperoleh dari perhitungan jumlah lokus polimorfik dan persentasenya, number of alleles, effective number of
alleles, dan Nei’s gene diversity.
Penelitian Nagl et al. (2011)
terhadap Beta vulgaris (L.)
menunjukkan nilai variasi genetik menggunakan RAPD Na sebesar 1,759, Ne 1,428,
dan He 0,252.
Jarak genetik sesuai untuk
mempelajari diferensiasi genetik pada suatu populasi karena jarak genetik dapat
mengukur rata-rata jumlah gen yang berganti tiap lokus (Nei, 1979). Menurut Jin
dan Chakraborty (1994) dalam Hartanti
(2012) nilai kisaran jarak genetik adalah 0-1. Nilai jarak genetik tiga
populasi tanaman kecipir yang diperoleh pada penelitian ini berada pada kisaran
0,08-0,32. Nilai jarak genetik terendah antara sampel P0.1 dengan P0.2, sampel
P0.4 dengan P20.1 dan sampel P20.3 dan P25.2 sebesar 0,08. Sedangkan nilai
jarak genetik tertinggi yaitu sebesar 0,32 ditunjukkan antara sampel P0.5 dan
P20.4.
Nilai terendah jarak genetik biased sebesar 0,111 yaitu antara
perlakuan iradiasi 20 Gy dengan perlakuan iradiasi 25 Gy dan nilai tertinggi
sebesar 0,155 antara kontrol dan perlakuan iradiasi 25 Gy. Sedangkan jarak genetik
pada perhitungan unbiased nilai
terendah terdapat antara perlakuan iradiasi 20 Gy dengan perlakuan iradiasi 25
Gy sebesar 0,012 dan nilai tertinggi antara kontrol dengan perlakuan 25 Gy
sebesar 0,069. Menurut Pandin (2009), apabila jarak genetik antarindividu
semakin besar, maka variasi dari anggota populasi tersebut semakin tinggi.
Persamaan Nei digunakan untuk
menentukan nilai jarak genetik dan kesamaan genetik atau identitas genetik.
Identitas genetik adalah ukuran proporsi gen yang identik antara dua populasi
dengan kisaran nilai 0-1 (Hartanti, 2012). Identitas genetik berdasarkan
perhitungan biased yang memiliki
nilai terendah adalah kontrol dengan perlakuan 25 Gy sebesar 0,856 dan nilai
tertinggi sebesar 0,895 antara perlakuan iradiasi 20 Gy dan perlakuan iradiasi
25 Gy. Sedangkan perhitungan unbiased
nilai terendah terdapat pada kontrol dengan perlakuan 25 Gy sebesar 0,933 dan
tertinggi pada perlakuan 20 Gy dengan 25 Gy sebesar 0,988. Nilai identitas
genetik rendah antar dua populasi menunjukkan bahwa kedua populasi tersebut
berkerabat jauh, sedangkan nilai identitas genetik tinggi menunjukkan
antarpopulasi tersebut berkerabat dekat.
KESIMPULAN
Iradiasi sinar gamma pada kecipir
menghasilkan polimorfisme yang cukup tinggi dibandingkan kecipir yang tidak
diinduksi sinar gamma. Sehingga keanekaragaman genetik yang didapatkan tinggi
pula. Penggunaan sinar gamma efektif untuk memperoleh varietas mutan dalam
rangka pemuliaan tanaman.
Article Reads
Total: 5138 Abstract: 2010Refbacks
- There are currently no refbacks.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
This website is maintained by:
Bio Publisher
The Faculty of Biology Publishing
Faculty of Biology
Universitas Jenderal Soedirman
Jalan dr. Suparno 63 Grendeng
Purwokerto 53122
Telephone: +62-281-625865
Email: biologi@unsoed.ac.id
T his website uses:
OJS | Open Journal System
A free journal management and publishing system that has been developed by the PKP (Public Knowledge Project) version 2.4.8.0.
All article content metadata are registered to:
Crossref
An official nonprofit Registration Agency of the International Digital Object Identifier (DOI) Foundation.
Articles in this journal are indexed by: