Untitled Document

VARIASI SEKUENS DNA YANG DIAMPLIFIKASI MENGGUNAKAN PRIMER atpB-rbcL PADA BEBERAPA KULTIVAR KACANG TANAH

Yani Yuliani, Alice Yuniaty, Agus Hery Susanto

Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Jalan dr. Suparno 63 Purwokerto 53122

Abstract

Peanut is one of food crops commonly consumed in Indonesia. This species comprises several cultivars such as Kancil, Bison, Jerapah, Talam, and Tuban, each of which has its individual advantages and disadvantages. The vast variation among peanut cultivars leads to the need of study on genetic diversity and relationship among them using particular molecular marker. This study aims to see whether variation on DNA sequences among some peanut cultivars amplified with atpB-rbcL primers exists or not and to know the relationship among the cultivars based on the amplicon sequences. The method involves some sequential steps, i.e. genomic DNA isolation using CTAB protocol, amplification of DNA sequence using atpB-rbcL primers and sequencing of the amplification products. Data on sequences were edited manually using Bioedit version 7.0.4.1. Sequence alignment was performed using ClustalW, which is also implemented in Bioedit version 7.0.4.1. Arlequin 2.0 was used to calculate nucleotide diversity p. Phylogenetic analysis was performed using Maximum Parsimony in MEGA 5.0. The results showed that considerably high variation in DNA sequences of some peanut cultivars amplified with atpB-rbcL primers are observed. On the other hands, very close genetic relationship among cultivars is found.

Key Words: DNA sequence variation, intraspecific diversity analysis, rbcL-atpB primers
Penulis korespondensi: Yani Yuliani| email: yulianipass25@gmail.com

PENDAHULUAN

Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang cukup banyak dikonsumsi di Indonesia. Menurut Astawan (2009), tanaman ini mempunyai nilai ekonomi tinggi dan menempati posisi kedua di antara komoditas kacang-kacangan setelah kedelai. Kacang tanah digunakan secara luas sebagai bahan pangan seperti makanan camilan atau digunakan sebagai bumbu masak. Selain itu, kacang tanah juga sering dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, misalnya pengolahan kacang tanah sebagai minyak nabati. Hal ini karena kandungan gizinya yang tinggi dan lengkap sehingga sangat baik bagi kesehatan. Dalam 100 g kacang tanah terkandung 25,3% protein, 42,8% lemak, 21,1% karbohidrat, 31% serat, 25% vitamin E, dan beberapa bahan mineral seperti kalsium, klorida, fero, magnesium, fosfor, kalium, dan sulfur (Fachruddin, 2000).

Produksi kacang tanah saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan nasional, terlebih lagi dengan makin meningkatnya kebutuhan kacang tanah sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Produksi kacang tanah di Indonesia pada tahun 2012 meningkat sekitar 2,57% bila dibandingkan dengan produksi tahun 2011, yaitu 691 ribu ton biji kering menjadi 709 ribu biji kering. Namun, bila dibandingkan dengan rata-rata produksi selama periode tahun 2007 hingga 2011 sebenarnya terjadi penurunan sebesar 6,89%. Produksi kacang tanah selama periode tahun 2007 hingga 2012 cenderung berfluktuasi dan mengalami penurunan, dari 789 ribu ton biji kering pada tahun 2007 menjadi 709 ribu ton biji kering pada tahun 2012 atau mengalami penurunan rata-rata 1,99% per tahun (Kementerian Pertanian, 2012).

Penurunan produksi kacang tanah tersebut diakibatkan oleh penurunan luas lahan, degradasi sumberdaya lahan, air dan lingkungan, serta terbatasnya akses petani terhadap sumber permodalan dan teknologi budidaya. Kemajuan teknologi, khususnya teknologi yang melibatkan praktik manipulasi genetik, membuka peluang keberhasilan dalam upaya peningkatan produksi budidaya tanaman. Sementara itu, teknologi pemuliaan konvensional yang cenderung berdasarkan atas keanekaragaman fenotipe, kadang-kadang mengalami bias dalam seleksi individu unggul pada suatu populasi tanaman. Hal ini dapat terjadi karena fenotipe merupakan interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan kegiatan pemuliaan tanaman yang lebih berbasis pada keanekaragaman genetik untuk menghasilkan genotipe-genotipe potensial (Sudarmi, 2013).

Informasi tentang keanekaraga-man genetik yang diperoleh dari analisis DNA juga berguna dalam penentuan hubungan kekerabatan antarindividu atau antarpopulasi yang diteliti. Informasi ini dapat digunakan sebagai dasar dalam perbaikan kualitas genetik tanaman melalui pemuliaan tanaman yang terprogram dengan baik. Keanekaragaman genetik dapat terjadi karena adanya variasi nukleotida penyusun DNA. Variasi ini dapat berpengaruh pada fenotipe individu organisme yang dapat diamati secara langsung (Suryanto, 2003).

Salah satu pendekatan untuk mempelajari keanekaragaman genetik dan hubungan kekerabatan genetik diantara beberapa kultivar kacang tanah adalah menggunakan data sekuens DNA tertentu. Sekuens ini dapat diketahui setelah diamplifikasi menggunakan suatu pasangan primer, misalnya primer untuk mengampli-fikasi daerah penyela intergenikatpB-rbcL dari genom kloroplas. Menurut Doi et al. (2002), daerah pada genom kloroplas ini telah digunakan untuk studi filogenetik interspesifik pada beberapa tanaman seperti pada genus Magnolia (Azuma et al., 1999), studi filogenetik intraspesifik pada tanaman Pedicularis chamissonis Steven (Scrophulariaceae) (Fujiiet al., 1997) dan pada beberapa populasi tanamanKelloggia chinensis serta Kelloggia galioides Torrey ex Benth (Nie et al., 2005).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan tujuan penelitian, yaitu: melihat ada tidaknya variasi sekuens DNA pada beberapa kultivar kacang tanah yang diamplifikasi menggunakan primer atpB- rbcL dan melihat ada tidaknya hubungan kekerabatan beberapa kultivar kacang tanah berdasarkan sekuens hasil amplifikasi menggunakan primer atpB-rbcL. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar untuk perbaikan kualitas genetik kacang tanah dalam program pemuliaan tanaman kacang tanah.

METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika dan Molekuler Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman pada bulan November 2015 sampai dengan Februari 2016. Sampel berupa lima kultivar kacang tanah berasal dari Balitkabi Malang, yang kemudian ditanam secara acak di dalam pot di RT 01 RW 01 Sumampir. Sampel yang digunakan berupa daun kacang tanah yang kemudian diekstraksi DNA genomnya dengan menggunakan metode CTAB (Doyle & Doyle, 1990) yang telah dimodifikasi. Uji kuantitatif DNA menggunakan nanospektrofotometer. Visualisasi DNA genom dilakukan untuk melihat kualitas DNA genom dengan menggunakan gel agarosa 0,75% dan visualisasi dilakukan juga untuk pengecekan hasil PCR menggunakan gel agarosa 1,5%. Primer oligonukleotida yang digunakan adalah sepasang primer universal atpB-rbcL (Chianget al., 1998). Reaksi PCR terdiri atas kappa mix 25 µl,forward primer 5 µl, reverse primer 5 µl, DNA template 2 µl, dan NFW 13 µl dengan total reaksi 50 µl. Reaksi PCR yang digunakan adalah pradenaturasi 94 °C 4 menit, diikuti 35 siklus reaksi yang masing-masing terdiri atas denaturasi 94 °C 1 menit, annealing 46 °C 2 menit, elongasi 72 °C 3 menit, dilanjutkan dengan elongasi akhir 72 °C 10 menit dan penyimpanan 8 °C. Produk PCR selanjutnya dikirim ke Firstbase Malaysia untuk disekuensing. Suhu penempelan primer yang digunakan adalah 46 °C.

Data hasil sekuensing disunting menggunakan piranti lunak Bioedit versi 7.0.4.1 (Hall, 1999) dan diperiksa secara manual. Penjajaran sekuens dilakukan dengan menggu-nakan ClustalW (Thompson et al., 1994) yang juga diimplementasikan dalam piranti lunak Bioedit versi 7.0.4.1 (Hall, 1999). Program Arlequin 2.0 (Scheinder et al., 2000) digunakan untuk menghitung keanekaragaman nukleotida (Nei, 1987). Analisis filogenetik dilaku-kan dengan menggunakanMaximum Parsimony yang ada di dalam program MEGA 5.0 (Tamura et al., 2011).

HASIL dan PEMBAHASAN

Ekstraksi DNA genom kelima kultivar kacang tanah menghasilkan konsentrasi yang berkisar dari 313 hingga 1.225 ng/µl dengan tingkat kemurnian 1,3 hingga 2,0. Dilihat dari konsentrasinya, DNA tersebut dapat dikatakan cukup apabila akan digunakan sebagai templat PCR. Menurut Bartlett et al. (2003) DNA sebanyak 1 ng merupakan jumlah minimal yang dapat digunakan dalam proses PCR. Menurut Clontech (1999), jika konsentrasi DNA terlalu tinggi dapat dilakukan pengenceran, sedangkan jika konsentrasi DNA terlalu rendah dapat dilakukan penambahan volume DNA templat pada formula PCR.

Jika dilihat dari kemurniannya, sebagian besar sampel DNA tersebut memperlihatkan nilai yang cukup baik untuk keperluan PCR. Sambrook & Russel (1989) menyatakan bahwa DNA dikatakan murni apabila mempunyai nilai A260/A280 dalam kisaran 1,8–2,0. Menurut Alberts (1994), nilai A260/A280 kurang dari 1,8 menunjukkan adanya kontaminasi oleh protein, sedangkan nilai lebih dari 1,8 menunjukkan kontaminasi oleh RNA.

Visualisasi DNA genom hasil ekstraksi disajikan pada Gambar 1. Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa kualitas DNA hasil ekstraksi cukup baik karena DNA yang diperoleh terlihat jelas meskipun masih smear. Hasil smear ini menunjukkan bahwa sampel DNA masih terkontaminasi oleh RNA dan debris-debris sel lain seperti protein dan karbohidrat.

 

Gambar 1 . Hasil elektroforesis DNA genom kultivar kacang tanah (Bsn = kultivar bison, Jrp = kultivar jerapah, Kcl = kultivar kancil, Tlm = kultivar talam, Tbn = kultivar tuban)

Hasil amplifikasi menggunakan primer atpB-rbcL pada kacang tanah menunjukkan pita produk PCR yang tipis meskipun telah dilakukan beberapa kali optimasi suhu penempelan primer. Menurut Prana dan Hartati (2003), kualitas hasil amplifikasi dapat dilihat dari jumlah pita DNA yang dapat diidentifikasi dan tingkat resolusi pita fragmen DNA yang diamplifikasi.

 

Gambar 2 . Hasil amplifikasi fragmen DNA menggunakan primer atpB-rbcL pada beberapa kultivar kacang tanah (Bsn = kultivar bison, Jrp = kultivar jerapah, Kcl = kultivar kancil, Tlm = kultivar talam, Tbn = kultivar tuban)

Fragmen amplikon yang diperoleh berukuran sekitar 660 pb. Menurut Doi et al. (2002), ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi menggunakan primer atpB-rbcL pada genus Vigna berkisar dari 687 hingga 700 pb. Untuk mengetahui sekuens mplikon dari kelima sampel kacang tanah tersebut dilakukan sekuensing agar dapat dilakukan perbandingan di antaranya. Visualisasi amplikon yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 2.

Hasil PCR kemudian disekuensing di FirstBase Malaysia. Data sekuens selanjutnya dianalisis menggunakan calculate identity/similarity dalam piranti lunak Bioedit versi 7.0.4.1 (Hall, 1999) untuk mengetahui kecocokan sekuens amplikon dengan beberapa sekuens yang juga diamplifikasi dengan primer atpB-rbcL dari spesies lain yang berkerabat dekat dengan kacang tanah. Hasil analisis kecocokan sekuens ditampilkan pada Tabel 1. Secara umum, bila kandungan DNA homolog berkisar 60–100% dianggap spesies yang sama, bila memiliki DNA homolog berkisar 20–60% dianggap spesies yang berkerabat dekat, sedangkan bila DNA homolog kurang dari 20% dianggap spesies berbeda (Johnson, 1984). Suatu sekuens DNA dikatakan identik apabila memiliki nilai 91–100% (Kolondam et al., 2012).

Tabel 1. Kecocokan sekuen amplikon dengan sekuens atpB-rbcL dari spesies lain

Sekuens DNA yang diperoleh kemudian dijajarkan untuk keperluan analisis variasi sekuens dan filogenetik. Penjajaran sekuens dilakukan menggunakan Program ClustalW (Thompson et al., 1994). Penjajaran dilakukan untuk menentukan tingkat homologi urutan basa DNA yang dianalisis. Hasil penjajaran sekuens dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil penjajaran tersebut digunakan untuk menentukan nilai keanekaragaman nukleotida menggu-nakan piranti lunak DnaSP 5.10.01 dan Arlequin 3.1.

Hasil analisis keanekaragaman nukleotida yang diperoleh adalah 0,428 +/- 0,260 dengan 417 situs polimorfik, rincian seperti pada Lampiran 5 (Tajima, 1993). Dari nilai keanekaragaman nukleotida yang diperoleh dapat dikatakan bahwa keanekaragaman genetik pada beberapa kultivar kacang tanah tinggi, bila dibandingkan dengan nilai keanekaragaman nukleotida pada daerah intergenik atpB-rbcL genus Vigna sebesar 0,019 (Doi et al., 2002).

Secara umum variasi genetik disebabkan oleh perkawinan acak, ukuran populasi yang sangat besar, migrasi, mutasi, rekombinasi, dan seleksi alam (Hartl dan Jones, 1998). Begitu tingginya keanekaragaman genetik pada beberapa kultivar kacang tanah diduga antara lain karena terjadi persilangan acak di antara individu-individu tetua kultivar tersebut. Perkawinan acak seperti ini membantu meningkatkan heterozigositas dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Persilangan (hibridisasi) dapat meningkatkan variasi genetik dalam suatu populasi karena proses tersebut dapat menyebabkan terjadinya aliran gen (Grant dan Grant, 1994). Aliran gen atau proses perpindahan materi genetik mempengaruhi tingkat keanekaragaman genetik dalam kurun waktu tertentu (Soelistyowati, 1996). Hal ini diduga menyebabkan tingginya variasi genetik antarkultivar kacang tanah.

Tingginya keanekaragaman genetik juga dapat disebabkan oleh mutasi (Agisimanto dan Supriyanto, 2007). Mutasi merupakan perubahan sekuens nukleotida DNA suatu organisme yang menghasilkan keanekaragaman genetik (Campbell, 2008). Hasil penelitian menunjukkan situs yang mengalami mutasi subtitusi transversi sebesar 268, sedangkan situs yang mengalami mutasi transisi sebesar 261. Dalam hal ini, komposisi basa nukleotida A adalah 34,78%, basa T 28,86%, basa C 17,6%, dan basa G 18,77%. Perubahan kandungan basa nukleotida dapat mempengaruhi variasi genetik suatu populasi. Menurut Huang et al. (2005), kandungan basa nukleotida pada chloroplast spacer lebih banyak berupa A dan T.

Analisis filogenetik menggu-nakan metode Maximum Parsimoniy pada Gambar 3. Hasil kontruksi pohon filogenetik tersebut menun-jukkan bahwa beberapa kultivar kacang tanah berada dalam satu kerumunan dalam uji bootstrap (1.000 ulangan) yang ditampilkan di sebelah cabang. Menurut Nei dan Li (1979), makin besar bootstrap value , makin tinggi pula tingkat kepercayaan topologi pada hasil rekontruksi pohon filogenetik.

Gambar 3 . Pohon filogenetik beberapa kultivar kacang tanah hasil analisis Maximun Parsimony (Program MEGA)

Analisis hubungan kekerabatan dapat dilihat dari jarak genetik di antara masing-masing individu. Hasil analisis menggunakan piranti lunak MEGA 5.0 (Tamura et al., 2011). Tabel 2 menunjukkan bahwa jarak genetik yang paling rendah sebesar 0,188 dijumpai antara kultivar Talam dan kultivar Tuban, sedangkan jarak genetik yang paling tinggi sebesar 0,910 dijumpai antara kultivar Kancil dan kultivar Talam. Menurut Nei (1972), jarak genetik termasuk rendah apabila memiliki nilai antara 0,010 dan 0,099; sedang 0,1–0,99; dan tinggi 1,00–2,00.

Tabel 2 . Estimasi matriks jarak genetik beberapa kultivar kacang tanah

Menurut Rahayu & Handayani (2010) makin rendah jarak genetik, makin rendah ketidaksamaan genetik antara individu atau makin dekat hubungan kekerabatan antara individu. Kedekatan hubungan kekerabatan antarpopulasi dapat disebabkan oleh adanya asal-usul leluhur yang sama (common ancestor) (Campbell, 2008).

KESIMPULAN dan SARAN

Sekuens DNA beberapa kultivar kacang tanah yang diamplifikasi menggunakan primer atpB-rbcL memiliki variasi yang sangat tinggi. Hubungan kekerabatan beberapa kultivar kacang tanah cukup dekat jika dilihat dari sekuens DNA yang diamplifikasi menggunakan primer atpB-rbcL.

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari variasi sekuens DNA dan hubungan kekerabatan di antara beberapa kultivar kacang tanah menggunakan marka molekuler yang lain.

DAFTAR REFERENSI

Agisimanto D, Supriyanto A, 2007. Keragaman genetik pamelo Indonesia berdasarkan Primer Random Amplified Polymorphic DNA. J. Hortikultura 17(1):1–7.

Alberts B, Bray D, Julian L, Raff M, Roberts K, Watson JD. 1994. Biologi Molekuler Sel. Edisi ke-2. Alih Bahasa dari Molecular Biology of The Cell. 2nd Ed. oleh Kantjono AT. Jakarta: Gramedia Utama

Astawan M, 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji–bijian. Jakarta: Penebar Swadaya, pp.33–35.

Azuma H, Thein LB, Kawano S, 1999. Molecular phylogeny of Magnolia (Magnoliaceae) inferred from cpDNA sequences and evolutionary divergence of the floral scents. J. Plant Research 112:291–306. https://doi.org/10.1007/PL00013885

Bartlett JMS, Stirling D, 2003. PCR Protocols Second Edition. Methods in Molecular Biology. pp. 90–95. https://doi.org/10.1385/1592593844

Campbell, Reece & Mitchell L. 2008. Biologi. Edisi Kedelapan Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Chiang TY, Schaal BA, Peng CI. 1998. Universal primers for amplification and sequencing a noncoding spacer between the atpB and rbcL genes of chloroplast DNA. Botanical Bulletin of Academica Sinica 39:245–250.

Clontech. 1999. Advantage Genomic PCR User Manual. Clontech Laboratories, Inc.

Doi K, Kaga A, Tomooka N, Vaughan DA. 2002. Molecular phylogeny of genus Vigna subgenus Ceratotropis based on rDNA ITS and atpB-rbcL intergenic spacer of cpDNA sequences. Genetica 114:129–145. https://doi.org/10.1023/A:1015158408227

Doyle JJ, Doyle JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12:13–15.

Fachruddin L. 2000. Budidaya Kacang–Kacangan. Yogyakarta: Kanisius, pp.13–15.

Fujii N, Ueda K, Watano Y, Shimizu T. 1997. Intra-specific sequence variation of chloroplast DNA in Pedicularis chamissonis Steven (Scrophulariaceae) and geographic structuring of the Japanese 'alpine' plants. J. Plant Research 110:195–207. https://doi.org/10.1007/BF02509308

Grant PR, Grant BR. 1994. Phenotypic and genetic effects of hybridization in Darwin's finches. Evolution 48:297–316. https://doi.org/10.2307/2410094

Hall BG. 2001. Phylogenetic Tress Made Easy : A How-To Manual for Molecular Biologis. Sinauer Associates, Inc., Sunderland

Hartl DL, Jones EW. 1998. Genetics: principles and analysis. fourth edition. Jones and Bartlett Publishers. Inc, United Stated of America.

Huang SSF, Hwang SY, Lin TP. 2002. Spatial pattern of chloroplast DNA variation of Cyclobalanopsis glauca in Taiwan and East Asia. Molecular Ecology 11:2349–2358. https://doi.org/10.1046/j.1365-294X.2002.01624.x

Johnson JL. 1973. Use of nucleic–acid homologies in the taxonomy of anaerobic bacteria. International Journal of Systematic Bacteriology 23(4):308–315. https://doi.org/10.1099/00207713-23-4-308

Kementerian Pertanian RI., 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lakip). Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, pp. 35–27.

Kolondam BJ, Lengkong E, Mandang JP, Pinaria P, Runtunuwu S. 2012. Barcode DNA berdasarkan gen rbcL dan matK Anggrek Payus Limondok (Phius tancarvilleae), J. Bioslogos 2(2):1–8.

Nei M. 1972. Genetic Distance Between Population. The American Naturalist 106(949):283–292. https://doi.org/10.1086/282771

Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York: Columbia University Press.

Nei M, Li WH. 1979. Mathematical model for studying genetic variation in terms of restriction endonucleases. Proceedings of the National Academy od Sciences 76:5269–5273. https://doi.org/10.1073/pnas.76.10.5269

Nie Z, Wen J, Sun H, Bartholomew B. 2005. Monophyly of Kelloggia Torrey ex Benth. (Rubiaceae) and evolution of it sinter continental disjunction between western north America and eastern Asia. American Journal of Botany 92(4):642–652. https://doi.org/10.3732/ajb.92.4.642

Prana TK, Hartati SN. 2003. Identifikasi sidik jari DNA talas (Colocasia esculenta L. Schott) Indonesia dengan teknik RAPD: Skrining primer dan optimalisasi kondisi PCR. J. Natur Indonesia 5(2):107–112.

Rahayu SE, Handayani S. 2010. Keragaman genetik pandan asal Jawa Barat berdasarkan penanda inter simple sequence repeat. Makara Sains 14(2):158–162.

Sambrook J, Russell DW. 2001. Molecular cloning a laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York.

Schneider S, Roessli D, Excoffier L. 2000. Arlequin: A Sofware for Population Genetic Data Analysis. Genetics and Biometry. University of Geneva. Geneva. Switzerland

Soelistiyowati DT. 1996. Genetika Populasi. Jurusan Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sudarmi. 2013. Peranan biologi molekuler pada pemuliaan tanaman. Magistra 84(25):75.

Suryanto D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa Teknik Genetika Molekuler. [Skripsi]. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Tajima F. 1993. Measurement of DNA Polymorphism. In: Mechanisms of Molecular Evolution. Introduction to Molecular Paleopopulation Biology, Edited by Takahata N, Clark AG, Tokyo, Sunderland, MA: Japan Scientific Societies Press, Sinauer Associates, Inc., pp.37–59.

Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 011. MEGA5: Molecular Evolutionary Genetics Analysis Using Maximum Likelihood, Evolutionary Distance, and Maximum Parsimony Methods. Molecular Biology Evolution 28(10):2731–2739. https://doi.org/10.1093/molbev/msr121

Thompson JD, Higgins DG, Gibson TJ. 1994. CLUSTALW: improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighting, position-specific gapspenalties and weight matrix choice. Nuclei Acids Research 22:4673–460. https://doi.org/10.1093/nar/22.22.4673

Article Reads

Total: 27310 Abstract: 2194

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

 

Daily Visit

The last two months

View complete Google Analytics report here
 

This website is maintained by:
Bio Publisher
The Faculty of Biology Publishing

Faculty of Biology
Universitas Jenderal Soedirman
Jalan dr. Suparno 63 Grendeng
Purwokerto 53122

Telephone: +62-281-625865
Email: biologi@unsoed.ac.id

T his website uses:
OJS | Open Journal System
A free journal management and publishing system that has been developed by the PKP (Public Knowledge Project) version 2.4.8.0.

All article content metadata are registered to:
Crossref
An official nonprofit  Registration Agency of the International Digital Object Identifier (DOI) Foundation.

Articles in this journal are indexed by:

Complete index list  »